Search

Antara Jahe, Pandemi, Pikai dan Upaya Mempertahankan Tanah

 

Foto : Gunung Raya dan Bukit Sengumang yang berada di Kampung Sungai Maram

Dinginnya angin kemarau bertiup menderu-deru diantara bukit dan lembah. Sesekali pohon yang tumbuh di padang lalang, terombang-ambing berirama seperti ingin menyajikan sebuah simponi. Terlihat dari jauh, dengan gagahnya Gunung Raya dan Keramat Bukit Sengkumang berdiri kokoh berpendar cahaya sore dari sang surya yang sebentar lagi beranjak pulang.

Sore itu di pertengahan Agustus 2023, kami JWKS berkesempatan berkunjung ke sebuah dusun di daerah per-hulu-an Kecamatan Tumbang Titi, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Nama dusun itu Dusun Tiga, Kampung Sungai Maram yang masuk ke dalam wilayah Desa Sepauhan Raya. Jarak tempuh ke dusun ini sendiri kurang lebih 4 jam perjalanan bermotor dari Kota Ketapang.

“Dulu kami tidak tinggal di sini, nama kampung kami awalnya Kengkayas, namun ketika wabah penyakit datang dimana tiap hari ada 3-4 orang meninggal, seperti covid kemarin-lah, warga meninggalkan kampung dan mencari wilayah lain yang lebih aman, dan tersebarlah ke Pembangunan, Sepauhan, Muatan Batu dan Sungai Maram ini”, ujar Pikai begitu pria yang kami temui sore ini.

Foto : Pikai yang juga Kadus Dusun Tiga, Kampung Sungai Maram

Ia sendiri merupakan putra asli Sungai Maram yang sudah 1 tahunan menjabat sebagai Kepala Dusun. Dusun yang ia bawahi sendiri terdiri dari 50 KK dimana mereka tinggal tak berjauhan satu dengan yang lainnya. “Orang rumah lagi gotong royong bakar lahan”, ujarnya menceritakan istrinya yang sedang tak ada di rumah karena ikut gotong royong membakar lahan.

Memang bertepatan dengan saat ini adalah musim bakar lahan bagi sebagian masyarakat Dayak yang menerapkan bercocok tanam tanpa olah tanah. “Awalnya kita tebas dulu, biarkan hingga kering beberapa minggu, buat sekat bakar, lalu bila hari bagus atau cerah, kita bakar sambil dijaga bersama agar tidak menyebar”, ungkap Pikai kembali mengenai aktivitas warga yang telah berlangsung turun temurun ini. 

Biasanya setelah bakar lahan, warga pun bercocok tanam mulai dari padi ladang, tanaman sayur-sayuran seperti kucai, terong asam, sawi kampung, jahe, kunyit, lengkuas, temulawak dan tanaman umbi-umbian lainnya. Abu pembakaran yang berbaur dengan tanah menjadi media yang baik bagi pertumbuhan tanaman. “Kalo ketimpa hujan, makin segar lagi tanaman kita”, tambah Pikai.

Foto : Lahan yang Dibakar (Pengolahaan Tanpa Olah Tanah)

Salah Satu Sentra Jahe.

Wilayah Sepauhan, Sungai Maram dan Mahawa memang menjadi wilayah sentra tanaman jahe di Kabupaten Ketapang. “Sungai Maram sendiri sejak tahun 2010 kita mulai efektif menanam jahe, mengikuti daerah Mahawa, hasilnya lumayan”, ujar Pikai kembali. Terlihat dari jauh rombongan warga yang kerja bakti pulang, termasuk istri dari Pikai.

Kemudian setelah menikmati secangkir kopi, kami beranjak melihat kebun Pikai yang terdekat. Kami melewati jalan setapak, serta lahan warga yang baru dibakar dengan gotong royong, dan akhirnya kami memasuki hutan. “Sebentar ambil air minum dulu”, ujar Rika yang juga merupakan istri dari Pikai.

Foto : Pemandangan dari lahan ladang Pikai yang berada di bukit

Dengan cekatan ia memasukkan air sungai yang dalamnya hanya sekitar 15 cm ke dalam dua botol mineral bekas. “Ini langsung bisa diminum, aman karena masih alami”, ujarnya tersenyum. Tak lama berjalan kami mulai melewati jalan menanjak berbukit. Benar saja dengan kemiringan sekitar 30 derajad kami mulai berjalan mendaki. Sekitar 5 menit melewati jalan menanjak tibalah kami di kebun Pikai. Nampak sebagian hamparan tanaman yang ia tanam dan sebagian lagi adalah lahan yang sedang diolah. Ia sendiri mengerjakan lahan ini bersama istrinya.

Foto : Pikai meminum air langsung dari sungai yang mengalir di kaki bukit

“Jahe habis di panen, sisanya di lahan ini tinggal sedikit, yang banyak di kebun sana”, ungkapnya menunjuk sebuah kawasan di seberang lokasi kami saat ini. Sang istri pun dengan cekatan menggurun rumput gulma dekat tanaman keladi dan kacang. “Nah kena makan beruk ni kacang tanahnya”, ujarnya menyebut salah satu jenis kera yang kerap menjadi hama penggangu tanaman.

Berkah saat Pandemi Covid 19

“Disini semua warga bertanam jahe, saat ini harganya sekitar Rp. 15.000,- sekilo, dulu waktu pandemi harganya bagus bisa sampai Rp. 50.000,- sekilonya”, kenang Rika menceritakan saat pandemi lalu. Namun situasi saat itu juga memiliki tantangan tersendiri bagi warga untuk menjual jahe ke luar dimana saat itu pemerintah giat-giatnya menerapkan social distancing.

Foto : Rika, istri dari Pikai yang kesehariannya mengurus ladang

“Saya harus kucing-kucingan dengan petugas, di kampung ndak pernah bawa masker, jadi pas jual ke Kecamatan Sandai di razia, saya putar otak, lalu saya ambil kaos dalam singlet saya, saya lilit ke hidung, tapi masih di-stop juga, bapak mesti pakai masker kata petugas, sambil lihat keranjang saya yang penuh jahe, oh barang sehat ini, bisa jaga stamina, ya udah silahkan lewat, tapi nanti harus pakai masker ya”, cerita Pikai menceritakan pengalamannya berjualan jahe dan di razia petugas gabungan.

Covid 19 saat itu juga merebak hingga kecamatan, banyak juga warga yang terpapar, ada yang juga menyamakannya dengan penyakit sampar buah atau sakit yang biasanya terjadi saat bersamaan musim buah. Namun sedikit berbeda dengan sampar buah, covid ini tak hanya terjadi saat musim buah saja tapi hampir sepanjang tahun antara tahun 2019 hingga 2021. Rika sang istri pun pernah merasakan gejala seperti yang dirasakan oleh banyak orang ketika terpapar Covid-19. “Badan pegal, batuk, hilang rasa, tapi saya minum air jahe kasi madu, beberapa kali minum sehat kembali”, ujar wanita yang lebih banyak menghabiskan waktu di kebun ini.

Menurutnya warga Sungai Maram secara teratur juga mengkonsumsi tanaman jahe dan rempah yang biasa mereka tanam hingga kini. Tentu hal ini sangat membantu warga dalam menjaga kesehatan tubuh mereka. Apalagi aktivitas mereka sehari-hari adalah berkebun. “Badan warga disini terlihat kekar, maklum tiap hari turun-naik bukit dan penglihatan juga masih bagus, jarang sekali ada yang berkacamata dan pastinya mereka banyak mengkonsumsi jahe”, ungkap Pikai tentang kualitas kesehatan warganya.

Foto : Jahe yang disiapkan menjadi bibit


Foto : Anak bungsu Pikai bermain diantara rumpun tanaman jahe

“Jadi saat pandemi kemarin, warga kalau panen 1 ton bisa untung sampai kisaran 20-30 juta, senang lihatnya, namun sekarang sudah jauh berkurang, namun warga tetap konsisten tanam jahe, karena dari inilah mereka dapat hidup, asal tentunya lahannya masih ada tersedia”, ujar Pikai.

Viralnya jamu empon-empon yang saat itu diracik menggunakan salah satu rempah alami yakni jahe, turut mendorong meningkatnya animo warga untuk mengkonsumsi jahe yang dicampur dengan madu alami secara rutin. Hal ini membawa dampak tersendiri bagi warga yang menekuni budidaya jahe. Mereka mendapatkan hasil keuntungan lebih baik dari biasanya.

Giat Kampanyekan Jangan Jual Lahan

Masuknya investasi ke sekitar Sungai Maram, dimana ada perusahaan sawit dan Hutan Tanam Industri (HTI) sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan mereka, dimana banyak warga yang juga bekerja di perusahaan tersebut. Namun tantangannya adalah banyak juga warga yang menyerahkan lahan pada perusahaan.

“Saya dari awal memang menyampaikan ke warga saya, jangan jual lahan milik kita, okelah yang wilayah masuk hutan lindung memang tidak bisa dikelola perusahaan, namun yang betul-betul lahan kita kalau di peta GIS perusahaan itu warnanya putih artinya masih bebas dan bisa dibebaskan mereka, jangan dijual, walau diiming-imingi uang atau jabatan apa”, cerita Pikai dengan sorot mata yang tajam.

Ia menceritakan berbagai cara pihak perusahaan mendekati, mulai dengan menjanjikan jabatan humas, sejumlah imbalan, hingga mendekatinya secara intens. “Tiap Kadus itu didekati, saya memang tidak menghindar yang namanya orang mau berteman, tapi saya kalau tentang lahan saya katakan, saya dan warga tidak akan menyerahkan, bukannya apa, lahan bagi kami masyarakat Dayak, harta yang tak ternilai, kalau kami tidak ada lahan, apakah bisa kami bercocok tanam di lahan perusahaan, kan ndak bisa, malahan kena tangkap kita”, tambahnya lagi sambil tertawa.

Foto : Pikai dan keluarga saat pulang beraktifitas dari ladang mereka

“Bagi saya inilah warisan saya bagi anak-anak saya kelak, pendidikan dan tanah untuk bercocok tanam serta alam yang masih asri ini”, ungkap bapak dari dua putra ini.

Tak terasa senja menjelang, matahari pulang ke peraduan kami pun kembali pulang ke kampung.

Suasana Tahun 80-an dan Kabut Pekat di Bukit

Malam menggantikan senja, tak nampak sang bulan, namun indahnya langit yang penuh bintang menampakkan suasana milky way yang jarang dijumpai di kota. Hingga pertengahan bulan Agustus memang menjadi waktu yang tepat untuk melihat milky way atau galaksi Bima Sakti di beberapa tempat di Indonesia. Temaram lampu rumah yang bersumber dari genset di beberapa rumah terlihat. Menariknya, terlihat sekumpulan anak baik laki-laki dan perempuan bermain sembunyi-sembunyian tanpa rasa takut, bahkan ada yang memanjat pohon. Sesekali tawa mereka pecah. Tak ada yang memegang gadged di situ. Sungguh suasana yang menyajikan layaknya menyusur mesin waktu yang mengajak kita kembali ke era tahun 80-an, dimana masih penuh dengan keterbatasan dan kesederhanaan.

Foto : tanpa rasa takut anak-anak bermain di halaman saat malam tiba

Foto : Generasi penerus kampung Sungai Maram

Sedikit berbeda aktivitas di rumah Pikai, yang 80% materialnya berbahan kayu semua, terlihat beberapa warga datang untuk bercengkrama. Mereka didominasi kaum ibu-ibu, hanya beberapa kaum pria yang terlihat. “Keletihan dari lahan suami saya”, ujar seorang ibu paruh baya.

Malam itu khas ala kampung mereka berdiskusi bersama mulai dengan membahas tentang jahe, rencana gotong royong besok, semangat mempertahankan lahan, dan menariknya juga pengelolaan keuangan keluarga. “Hasil warga bertani sebagian mereka tabung, dan pak Pikai salah satu yang mengawali itu semua, hasil jualan jahe bisa kita simpan dan digunakan untuk rehab rumah, beli kendaraan serta sekolah anak”, ujar Rika kembali.

Foto : Diskusi bersama warga di kala malam hari

“Menarik ya pak Pikai dibantu istrinya mengajak warganya menabung di lembaga pemberdayaan ekonomi kerakyatan, sejak tahun 2013 silam, jadi pas covid kemarin hasil yang lumayan tidak habis begitu saja, tapi mereka tabung juga”, ungkap Rapik salah satu penggiat literasi keuangan di pelosok kampung.

“Kita ingin anak-anak kita berpendidikan, agar mereka juga dapat bersaing nantinya untuk bekerja di tempat kita ini, jadi jangan jadi penonton atau hanya jadi buruh kasar saja, tapi kita bisa mendapat pekerjaan dengan posisi yang lebih baik, syukur-syukur bisa juga menciptakan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja lokal”, ujar Rapik memotivasi.

Foto : Isidorus Falma Ravik (Anggota JWKS dan Penggiat Literasi Keuangan di Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan) memberikan cinderamata pada pak Pikai, sebelum beranjak pulang

“Modal kita ya lahan-lahan, hutan, alam ini mesti kita jaga, selama bukit itu masih berkabut berarti ia masih bernapas atau hidup, selama kelempiau dan burung ruai masih terdengar maka itu sebuah petunjuk, alam kita sehat dari sakit penyakit, dan itu aman untuk warga”, ujar Pikai merujuk pada suasana alam di tempat mereka dan petuah leluhur terdahulu. Suatu yang mereka tabukan atau larang untuk membunuh hewan-hewan “atas” itu. “Pantang bagi kami berburu kelempiau atau burung Ruai dan beberapa binatang lainnya, mereka kita jaga”, timpal Pikai kembali.

Foto : Kabut turun di Gunung Raya saat pagi tiba

Benar saja ketika pagi tiba, kabut pekat menyelimuti Gunung Raya dan Bukit Sengkumang yang tak jauh dari kampung. Suasananya seperti hendak turun hujan, sayup suara kelempiau terdengar bersahutan. Angin kemarau kembali bertiup kencang menerpa pepohonan termasuk pohon jengkol yang sedang berbuah lebat. Aroma air jahe dari dapur tungku menyeruak hingga ke teras. Tak lama terhidang air jahe hangat dan menghangatkan tubuh di tengah suasana pagi nan dingin yang menyeruak. 

Sebentar kemudian kami pun pamit dari dusun ini. Sebuah dusun yang yang tetap berdaya di segala situasi, termasuk saat pandemi covid-19 melanda. Diantara alam yang masih terjaga, air gunung yang mengalir tak habisnya, diantara tawa anak yang berangkat sekolah, terselip potensi tanaman rimpang yang mesti terus digalakkan. Warga betul-betul menemukan “pola pertahanannya” sendiri, termasuk ketika pandemi melanda. “Ke depan ingin rasanya membuat jahe bubuk dan kita namai dengan merk  Sungai Maram”, pungkas Pikai melepas kami beranjak dari dusun itu. (oleh Tim JWKS)

#wargacegahpandemi 

#jurnaliswargaPPMN


0 Komentar