Foto : Pekerja sedang menurunkan karet yang akan diproses di sebuah pabrik di Tayan |
Tanaman Karet di beberapa tempat terlihat mulai ditebang. Ada yang dengan cara menggerus kulit di batang secara melingkar penuh di leher batang bawah sehingga secara perlahan Karet itu akan mati. “Penyebabnya kebanyakan ya diganti sawit, karena lebih menjanjikan, kemarin harganya sempat melejit, jadi petani banyak mengganti tanaman karetnya”, ungkap Supri seorang warga di Seponti Kabupaten Kayong Utara.
Memang terlihat
di sepanjang jalan yang melewati kebun karet banyak pohon karet sudah tinggal
tunggul-tunggul saja, sementara di sebelahnya mulai tumbuh tanaman sawit usia
tanam 1 tahunan. “Dulu petani kecewa harga karet terpuruk, sekarang kalaupun
kebun karet masih ada, tukang torehnya yang
tidak ada”, ujar Jamal yang juga warga Seponti.
JWKS sempat juga
mengunjungi sebuah perusahaan yang memiliki pabrik pengolahan Karet di Tayan,
Kabupaten Sanggau pada akhir Mei lalu. Terlihat tidak ada antrian mobil yang dulu
kerap terjadi ketika karet harganya masih baik.
“Sekarang sudah
tidak kaya dulu, pabrik kesulitan
mencari bahan baku karet dari petani, bahkan kami harus turun untuk mencari
karet hingga ke Kalteng”, ujar salah satu pegawai pabrik menggambarkan situasi
saat ini.
Namun di tengah
merosotnya animo petani untuk mengelola Karet, masih ada yang tetap
mempertahankan komoditi tanaman yang berasal dari Brazil ini. Rocky salah satu
warga Simpang Dua Kabupaten Ketapang, terlihat sedang membawa sampel karet dari
kampungnya hari itu. Ia bersama kelompok tani karet di desanya bertekad untuk
menggeliatkan lagi tanaman yang telah digeluti warga sejak lama itu.
“Kita sebenarnya
harus melihat ini sebagai potensi, mulai dari menanam, merawat, menyadap,
perlakuan saat mencetak, penyimpanan hingga penjualan ke pabrik, bila dilakukan
dengan baik ini berpengaruh pada produktivitasnya yang hasilnya juga sangat
potensial”, ungkap pria yang memiliki basic
pertanian ini.
Dari kualitas sampel
yang dibawa sebanyak 700 Kg itu ia mendapat harga Rp. 11.200 per kg. “Setelah
ini kami akan mensosialisasikan hasil diskusi dengan perusahaan, diantaranya
tentang pengolahan agar harga dapat lebih baik lagi”, ujar Rocky kembali.
Di bagian lain
dari pabrik itu terlihat box khusus yang menampung karet yang terkontaminasi
dengan barang-barang seperti pasir, kayu, batu bahkan kain celana. “Yang kaya
gini, bentuk curang dari petani yang kurang bertanggung jawab, tapi pasti ketahuan
karena setelah timbang maka kita akan potong-potong karet itu untuk di cek
apakah ada barang asing di dalamnya, setelah itu baru pabrik bayar pada yang
bersangkutan sesuai penilaian perusahaan”, ungkap salah satu pegawai yang
mengaku sudah belasan tahun untuk melakukan quality
control pada hasil karet petani.
Foto : Kualitas buruk karet olahan yang dicampur dengan pasir, batu dan kain. Hal yang harus dihindari petani karet untuk menjaga kepercayaan. Kualitas ini tidak dihargai sama sekali saat di pabrik. |
Rocky mengungkapkan ia bersama kelompok taninya akan bertekad memproduksi karet yang berkualitas, agar harga lebih baik dan dapat memotivasi petani lain yang saat ini cenderung melalaikan kebun karetnya yang masih produktif. “Kuncinya pada produktivitas, kalo produktivitas baik, harga akan baik, apalagi kita ada kerja sama dengan CU. Pancur Solidaritas juga, jadi saya optimis ini bisa memotivasi petani lain, jadi kita akan lebih baik kalau kita punya varian mata pencahrian lebih dari satu, pagi noreh, siang ngurus kebun yang lain seperti sawit atau sayuran”, pungkasnya.
Walau makin
tergerus, komoditi karet masih potensial, mengingat karet adalah bahan baku
yang sangat dibutuhkan oleh dunia. Memberikan pemahaman dan pendampingan bagi
petani yang dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas juga butuh peran
pemerintah. Dengan menggeliatkannya kembali maka menjadi bagian untuk
meningkatkan perekonomian serta stabilitas ekonomi bagi warga. (Red-JWKS)
0 Komentar