Search

Pentingnya Perempuan Berpartisipasi dalam Pilkada 2020

Webinar bertema Benarkah Suara Perempuan Menentukan Hasil Pilkada?

Independen Demokrasi bekerja sama dengan Perludem menyelenggarakan diskusi webinar dengan tema Benarkah Suara Perempuan Menentukan hasil Pilkada, Rabu 25 November 2020. Ada tiga pemateri yang dihadirkan yakni Dr. Misharti, S. Ag., M. Si yang juga anggota DPD RI dari Riau, Dr. Emilda Firdaus, SH, MH. Pakar Hukum dan Tata Negara Riau dan Khoirunnisa Nur Agustyati S. Sos., MIP yang juga Direktur Eksekutif Perludem.

Misharti yang juga Senator RIAU di DPD RI memaparkan dari segi jumlah populasi perempuan di Indonesia masih dibawah laki-laki, namun dari sisi pertambahan tiap tahun persentasenya lebih tinggi. “Jumlah penduduk Indonesia ada 268 juta dimana komponen perempuan ada 132 juta dan laki-laki 136 juta, tapi data tahun 2019 ke 2020 peningkatan penambahan populasi perempuan lebih tinggi, tentu ini juga menjadi catatan penting mengapa perempuan penting ikut urusan publik termasuk dalam pilkada”, ujarnya.

Ketua STAI AL Azhar sekaligus dosen ini pun mengungkapkan bahwa pemerintah dengan konsep Nawacita-nya telah mengakomodir dan concern tentang perempuan. “Dalam konsep Nawacita dari presiden Jokowi terungkap beberapa hal yang mengakomodir perempuan misalnya tidak diskriminatif, perjuangan akan kesetaraan, kuota 30% keterwakilan perempuan, hak mendapat pendidikan, akses kesehatan, layanan publik, tidak mendapat kekerasan, namun dalam prakteknya masih jauh dari maksimal”, ungkapnya kembali.

Sementara itu pemateri berikutnya Dr. Emilda Firdaus, SH, MH. Yang juga Pakar Hukum dan Tata Negara Provinsi Riau mengungkapkan bahwa bicara perempuan kita bicara tentang hak asasi manusia.

“Bicara perempuan kita bicara tentang HAM, kebutuhan perempuan mesti diakomodir oleh negara, perlindungan hak perempuan. Memang instrument-instrumen hukum sudah banyak, namun masih ada yang kurang, contoh permasalahan kekerasan seksual korban perempuan bukan selesai ketika pelaku masuk penjara saja, namun nasib si korban berikutnya seperti apa, perempuan ini masuk komunitas rentan dalam teori HAM, maka harus ada perlakuan khusus dari negara untuk support perempuan misalnya aspek politik yang menentukan kebijakan-kebijakan yang berimbas pada perempuan juga”, ungkapnya.

Sementara itu Khoirunnisa Nur Agustyati S. Sos., MIP mengupas bagaimana tantangan-tantangan dalam partisipasi perempuan. “Ada lima yang kita sorot terkait hal-hal atau tantangan dalam partisipasi perempuan yakni bentuk diskriminasi perempuan, marjinalisasi dalam politik, kekerasan terhadap perempuan, sub ordinasi, stereotype dan beban ganda” ungkapnya.

Ia pun mengutip bagaiman menurut Koffianan Foundation perempuan termasuk dalam komunitas rentan dalam Pilkada. “Perempuan termasuk menjadi kelompok terdampak  hal ini ditegaskan oleh Koffianan foundation, maka penting perempuan hadir dalam lembaga publik, suara perempuan bisa tersuarakan, misal bagaimana ada perda-perda keberpihakan pada perempuan misalnya tentang penyediaan fasilitas penitipan anak, ruang menyusui di dekat tempat-tempat kerja, hal ini bertujuan untuk mengakomodir kebutuhan perempuan agar juga dapat tetap bekerja, itu contoh-contoh sederhana”. ujarnya kembali.

Bagi daerah yang tak ada paslon perempuan ia pun mengajak perempuan cerdas memilih dengan melihat keberpihakan paslon pada perempuan yang tertuang dalam visi-misinya. “Walau daerah-daerah ada yang tidak ada calon perempuan tapi penting pemilih juga membedah visi-misi paslon yang memiliki keberpihakan khususnya pada perempuan dan anak”, pungkasnya kembali.

Pilkada, 9 Desember sudah didepan mata. Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Ketapang sendiri ada 349.837 pemilih, dimana 48,28 % adalah perempuan tentu ini potensi tersendiri bagi tiap paslon. Namun hendaknya bukan bicara tentang perempuan sebagai konstituen semata namun penting bagaimana mewujudkan serta memenuhi aspirasi mereka.

Tim JWKS, disarikan dari Webinar yang dilaksanakan Independen Demokrasi bekerja sama dengan Perludem, Rabu 25 November 2020.

0 Komentar