Bubu setelah dibingkai oleh Yanto |
Kunik dari Dusun Silingan Pengrajin Bubu, Alat Tradisional untuk Menangkap ikan |
Debu tanah kuning masih menempel di motor yang kami tumpangi ketika berhenti di depan rumah sedehana di bilangan dusun Silingan Kendawangan. Rumah sederhana ini membentuk leter L dengan halaman belakan yang masih ditumbuhi tanaman buah-buahan.
Perlahan terdengar langkah tuan rumah menghampiri kami. Tergurat senyum sumringah dari wajahnya. Kunik begitu pria itu dipanggil. “Eh masuk am, maok meliat bubu,..e”, ujarnya menyilahkan kami masuk, sambil mengambil bubu yang barusan ia sebut.
Bubu sendiri adalah anyaman bambu atau rotan yang biasanya menjadi alat tangkap ikan tradisional di daerah Ketapang dan Kalimantan Barat umumnya. “Saye buat 40 centi bah tingginye, kalo untuk njerat ikan bah maok satu meter kali, tapi karena kitak mintak, makanya saya buat kecil”, ujarnya kembali dengan dialek Melayu Ketapang.
Salah satu rekan kami, yang dipanggil bang Yanto mengambil dan mengamati bubu itu. “Bagus, rapi,…”, ujarnya singkat.
Bang Yanto sendiri yang juga anggota JWKS ini memang memiliki talenta yang luar biasa di bidang seni dan berbagai ketrampilan listrik dan mekanik. Ia sengaja hari itu kami ajak bertemu dengan pak Kunik di Silingan.
Bukan tanpa alasan kami mengajaknya bertemu langsung dengan warga pembuat bubu tradisional. Terbersit keinginan kami untuk menaikkan add value kerajinan lokal yang bagi anak milenial saat ini kearifan lokal ini sudah mulai ditinggalkan.
“Nanti kita buat baguslah, kita bikin plakat menarik”, ungkap bang Yanto Singkat.
Perlahan terdengar langkah tuan rumah menghampiri kami. Tergurat senyum sumringah dari wajahnya. Kunik begitu pria itu dipanggil. “Eh masuk am, maok meliat bubu,..e”, ujarnya menyilahkan kami masuk, sambil mengambil bubu yang barusan ia sebut.
Bubu sendiri adalah anyaman bambu atau rotan yang biasanya menjadi alat tangkap ikan tradisional di daerah Ketapang dan Kalimantan Barat umumnya. “Saye buat 40 centi bah tingginye, kalo untuk njerat ikan bah maok satu meter kali, tapi karena kitak mintak, makanya saya buat kecil”, ujarnya kembali dengan dialek Melayu Ketapang.
Salah satu rekan kami, yang dipanggil bang Yanto mengambil dan mengamati bubu itu. “Bagus, rapi,…”, ujarnya singkat.
Bang Yanto sendiri yang juga anggota JWKS ini memang memiliki talenta yang luar biasa di bidang seni dan berbagai ketrampilan listrik dan mekanik. Ia sengaja hari itu kami ajak bertemu dengan pak Kunik di Silingan.
Bukan tanpa alasan kami mengajaknya bertemu langsung dengan warga pembuat bubu tradisional. Terbersit keinginan kami untuk menaikkan add value kerajinan lokal yang bagi anak milenial saat ini kearifan lokal ini sudah mulai ditinggalkan.
“Nanti kita buat baguslah, kita bikin plakat menarik”, ungkap bang Yanto Singkat.
Bubu yang baru di buat |
Bubu setelah di bingkai |
Bubu sederhana yang dikemas menarik |
Benar saja sekembalinya ke Ketapang bubu sederhana itu pun disulap menajadi barang cinderamata yang menarik. Bubu itu itu pun saat ini telah dibingkai kotak mika bening dengan ornamen seni lainnya. Tentu harganya pun berubah dan memiliki kelas, begitulah di tangan Bang Yanto bubu sederhana yang biasanya direndam di parit atau sungai berlumpur, saat ini akan menghias meja kerja ataupun di lemari pajangan milik orang-orang tertentu.
Tawa renyah pak Kunik pun terdengar dari ujung telepon ketika kami menghubungi ia kembali untuk memesan belasan bubu darinya. “Saya akan anyam rapi-rapi pak biar tak kecewa, jadilah bise nambah-nambah uang dapur de tengah covid-19 ni”, ujarnya tergelak.
Begitulah butuh kejelian untuk mengangkat hal-hal sederhana yang menjadi bagian kearifan lokal dari masyarakat kita menjadi barang-barang yang memiliki nilai ekonomis. Situasi pandemik covid-19 bukan menjadi alasan memasung kreatifitas dari para pengrajin untuk saling berkolaborasi.
Tak kalah pentingnya pula bahwa hal ini juga menjadi bagian melestarikan dan mengenalkan alat-alat tradisional yang menjadi bagian dari kearifan local masyarakat kita ke generasi saat ini. (Bl-JWKS)
Tawa renyah pak Kunik pun terdengar dari ujung telepon ketika kami menghubungi ia kembali untuk memesan belasan bubu darinya. “Saya akan anyam rapi-rapi pak biar tak kecewa, jadilah bise nambah-nambah uang dapur de tengah covid-19 ni”, ujarnya tergelak.
Begitulah butuh kejelian untuk mengangkat hal-hal sederhana yang menjadi bagian kearifan lokal dari masyarakat kita menjadi barang-barang yang memiliki nilai ekonomis. Situasi pandemik covid-19 bukan menjadi alasan memasung kreatifitas dari para pengrajin untuk saling berkolaborasi.
Tak kalah pentingnya pula bahwa hal ini juga menjadi bagian melestarikan dan mengenalkan alat-alat tradisional yang menjadi bagian dari kearifan local masyarakat kita ke generasi saat ini. (Bl-JWKS)