Search

Memperingati Hari Kartini di Tengah Pandemic, Belajar dari Mama Sorgum, Maria Loretha


Tanggal 21 April tiap tahunnya diperingati sebagai hari Kartini. Tapi pada tahun 2020 sungguh berbeda tak ada persiapan khusus seperti di tahun-tahun yang lalu, dimana biasanya menjelang hari Kartini hampir serentak diseluruh penjuru negri diadakan lomba-lomba. Mulai dari lomba kebaya, memasak nasi goreng, merias dan masih banyak lagi lomba lainnya untuk memperingati jasa tokoh emansipasi wanita kelahiran Jepara ini.

Tahun ini menjadi tahun yang penuh keprihatinan dimana wabah covid 19 melanda hampir seluruh dunia. Dampaknya yang begitu besar membuat kita semua harus melakukan social distancing. Namun mengenang momen hari Kartini bolehlah kita menumbuhkan rasa optimis dengam menghadirkan kisah tokoh wanita yang menjadi Kartini di masa ini.

JWKS hendak menghadirkan kisah Mama Loretha, perempuan yang juga masih berdarah Dayak Kanayant yang sukses mengembangkan Sorghum di Nusa Tenggara Timur. Tak salah ia dikenal sebagai “Mama Sorgum” yang dikenal luas di Nusantara. Disarikan  dari berbagai sumber, kami hadirkan kisahnya.

Maria Loretha adalah putri asal Kalbar. Putri dari pasangan Hieronymus Godang dan Marsiara Idus ini sempat mengecap pendidikan SD selama beberapa tahun, sebelum mengikuti orangtuanya yang bertugas sebagai hakim di Jawa.

Maria sempat berpindah ke beberapa kota mengikuti ayahnya. Hingga berkeluarga, ia menetap di Malang. Saat Indonesia diterpa krisis ekonomi pada 1998, suaminya, Jeremias L, mengajaknya ke Flores.

Maria sempat ragu dengan ajakan suami karena informasi yang selama ini beredar di lokasi tersebut merupakan daerah kering dan miskin.

"Ingat ndak pelajaran waktu SD. Alor, Flores, NTT digambarkan kering, gersang. Jadi, saya tanya suami mau kerja apa di sana. Suami menyatakan akan menggarap kebun kelapa dan mente yang memang miliknya," kata Maria

Setelah sang suami memberi penjelasan, Maria luluh. Maka, pada 1999 dia mulai menetap di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tapi, sampai di sana, keadaannya berbanding terbalik dari apa yang dibayangkan. Ternyata, tanahnya subur. Orang di sana bisa menanam perenggi, mentimun, sayur paku, keladi, dan pisang. "Saya jadi binung, kering apanya," kenang alumnus SMP Mater Alma di Ambarawa, Jawa Tengah, ini.

Perempuan itu sering meneteskan air mata saat awal-awal ia dan keluarganya berdiam di pesisir Flores. Kamarnya hanya berjarak 35 meter dari bibir pantai. “Setiap ada kapal Pelni lewat, KM Awu dan KM Sirimau, saya cepat-cepat lari ke dermaga, hanya mau melihat dan berpikir kapan bisa pulang, karena tidak punya uang. Mau minta uang pada orangtua malu,” kisahnya kepada media ketika menceritakan momen awal di Flores.

Hanya ketekunan dan kerja keras yang membuat dirinya mampu melawan situasi batas ini. "Saya hanya bawa DUIT: Doa, Usaha, Ikhlas dan Tekun," ungkapnya kepada setiap media ketika ditanya mengenai semangatnya.

Selama menetap di Flores, selain menjadi ibu rumah tangga, Maria juga bekerja sebagai MC dan penyanyi pada undangan- undangan orang.  Dia pernah menjadi MC saat kampanye. Namun, bekerja seperti itu ternyata tidak menjamin

"Bayarannya kecil. Waktu kampanye bupati saja dapatnya Rp 250 ribu. Itu berkali-kali kampanye, bukan hanya satu kali," terang alumnus SMA di St Fransiskus I Jakarta ini.
Sejak saat itu, Maria memutuskan untuk menggarap kebun milik suaminya. Tanaman yang pertama ditanamnya padi merah dan buah pepaya. Beberapa pohon kepala dan mente ditebang untuk menempatkan tanamannya.

"Orang gempar. Mereka kaget, ngapain menebang kelapa dan mente yang sudah menghasilkan. Saya tetap saja dengan rencana. Kita menanam padi merah dan buah pepaya karena harganya juga lumayan tinggi. Sejak itu (2005) saya fokus menjadi petani," urainya.

Pertemuan pertama Maria dengan sorgum saat ditawari tetangganya, Maria Helan. Sepiring sorgum yang dihidangkan kepadanya dikukus lalu ditaburi parutan kelapa. Meski tak pernah memakannya, Maria tetap mencicipi. Dan, menurut Maria, rasanya enak. 

Dia pun tertarik untuk mendapat informasi lebih jauh mengenai sorgum. Untuk itu, dia bertanya ke siapa saja yang dikenalnya tentang tanaman tersebut. Informasi yang didapat, sorgum adalah makanan pokok masyarakat NTT, khususnya pulau Flores, sebelum masuknya proyek beras di masa pemerintahan orde baru.

Sorgum tak asing bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat karena tanaman ini menjadi pangan alternatif bagi warga pada musim kemarau. Namun, sejalan dengan kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pengembangan beras, sorgum semakin jarang ditanam warga. Bibitnya pun mulai langka. Padahal, kandungan karbohidrat sorgum lebih tinggi dibandingkan beras.

Fakta itu membangkitkan semangat Maria Loretha untuk membudidayakan dan mengembangkan tanaman biji-bijian (serelia) ini. Kondisi itu melecut Maria mewujudkan mimpinya mendirikan ”bank benih” pangan lokal. Maka, kebunnya seluas 6 hektar dijadikan areal pengembangan beragam jenis tanaman seperti sorgum, jambu mete, kelapa, padi, jagung, dan jewawut.

Saat ini para petani dan masyarakat luas merasakan perjuangan Maria Loretha mulai dari manfaat asupan gizi dan pangan hingga manfaat ekonomis yang mengikutinya.

Pangan alternative selain beras saat ini menjadi hal yang sangat penting ditengah krisis kesehatan (krisi covid 19) yang juga berimbas pada krisis pangan. Hingga saat ini mama Loretha masih konsisten bersama warga mengembangkan sorgum. Berbagai penghargaan ia terima mulai dari KEHATI Award, Kartini Award, Ashoka Award, She Can! Award, dan banyak lagi lainnya. 

Peringatan hari Kartini ditengah keprihatinan akan wabah Corona seakan mengingatkan kembali bagaimana perjuangan RA. Kartini ditengah tekanan dan kekangan situasi saat itu. Namun ia tetap optimis untuk menumbuhkan semangat bagi kaum perempuan untuk terus menebar harapan akan hak dan kesempatan yang setara.

Maria Loretha pun melakukan perjuangan bagi para petani dan mama-mama untuk dapat ber-swasembada pangan ditengah ancaman pandemic covid-19 dan pemanasan global. “Kita harus melestarikan pangan lokal, kembali ke alam dimana orang-orang tua kita dulu hidup dari itu, banyak varian pangan lokal yang dapat memenuhi swasembada pangan sesuai dengan daerah kita,” pungkasnya.

Perjuangan Kartini masa kini seperti Maria Loretha menyadarkan kita untuk terus menebar semangat optimisme. Selamat memperingati Hari Kartini. (JWKS-Dari Berbagai Sumber)