Search

Gelegar Gunung Anak Krakatau dan Tsunami yang Masih Mengintai

Aktivitas Gunung Anak Krakatau dari udara yang terus mengalami erupsi, Minggu (23/12).

Jakarta - Tiga hari pasca-tsunami, trauma masih menghantui warga di pesisir Selat Sunda. Rabu dini hari, 26 Desember 2018, ratusan warga di pesisir Teluk Lampung dilanda panik. Mereka cepat-cepat mengungsi, naik kendaraan hingga berlari menembus gelap. Kala itu, muncul kabar mengkhawatirkan: tsunami Selat Sunda konon akan kembali menerjang dalam hitungan menit.

Posko pengungsian di Balai Keratun, Kantor Gubernur Lampung, yang berada di dataran tinggi dan jauh dari pantai pun kembali penuh.

"Saya kembali lagi, karena mendengar kabar nanti malam ada tsunami jam 01.00 WIB makanya saya kembali lagi mengungsi," kata Putri, pengungsi asal Kotakarang, Telukbetung, Bandarlampung, Rabu (26/12/2018).

Pada Sabtu 22 Desember 2018 malam, usai tsunami menerjang pesisir Selat Sunda, Putri juga mengungsi di sana.

"Bila sudah aman saya dan keluarga akan pulang lagi ke rumah. Karena lebih nyaman tidur di rumah," kata Putri, yang rumahnya berjarak sekitar 500 meter dari pinggir pantai.

Bagi para penyintas, suara ombak dan angin yang dulunya biasa kini mampu bikin bulu kuduk berdiri.

Kabar tsunami susulan tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan pesan singkat yang dibagikan melalui telepon seluler. Banyak yang langsung percaya, tapi ada juga yang skeptis. Namun, sebagai langkah pencegahan, warga tetap ramai-ramai mengungsi.

Masyarakat di pesisir Carita hingga Labuan, Banten juga sempat di dikagetkan dengan naiknya permukaan air laut hingga meluber ke daratan atau rob Selasa lalu. Mereka awalnya mengira, itu adalah tsunami susulan.

Ternyata kabar tsunami saat itu tak benar. Warga memang harus siap siaga, menjauhi bibir pantai, dan mempersiapkan mitigasi. Di sisi lain, mereka juga diminta mewaspadai hoaks.

"Misalnya di Labuan, banyak yang hampir kecelakaan (karena hoaks)," ujar Kepala Operasional Basarnas Banten, Heru saat dihubungi Liputan6.com.

Tsunami yang terjadi Sabtu malam 22 Desember 2018 memang tak biasa. Tak ada gempa yang mengawali, tanpa peringatan apapun. Akibatnya fatal, setidaknya 430 orang tewas di Banten dan Lampung.

Aktivitas Anak Krakatau diyakini menjadi penyebabnya. Longsor terjadi di gunung yang miring itu, menyebabkan perpindahan air laut dan memicu gelombang tsunami.

Dan, hingga kini Anak Krakatau belum berhenti erupsi dan terus memperbesar dirinya. Tingginya saat ini mencapai lebih dari 338 meter, nyaris setengah dari ketinggian 'induknya' yang mencapai 813 meter saat meledakkan diri pada tahun 1883.

Pertanyaannya, apakah aktivitas Anak Krakatau bisa kembali memicu tsunami di Selat Sunda?

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengaku, pihaknya belum bisa memastikan apakah tsunami akan berulang.

Yang jelas, peristiwa Sabtu malam menjadi pelajaran bahwa kewaspadaan perlu ditingkatkan karena Gunung Anak Krakatau masih aktif.

"Ada potensi yang pasti. Pertama, Gunung Anak Krakatau itu masih aktif, yang kedua sampai sekaranggetaran tremor juga masih tercatat, juga itu menunjukkan aktifnya Krakatau," kata Rahmat kepada Liputan6.com, Rabu (26/12/2018).

Rahmat menambahkan, diprediksi masih ada ada material bongkahan lereng Anak Gunung Krakatau yang belum longsor dan masih berpotensi kolaps.

"Kalau terjadi bisa menimbulkan runtuhan dan masih bisa menimbulkan tsunami," tambah dia.

BMKG meminta masyarakat menjauhi pantai untuk sementara ini. Apalagi, gelombang sedang tinggi. "Ya enggak ada salahnya kalau menjauh, tapi bukan berarti evakuasi," kata Rahmat.

Berapa jarak aman agar terhindar dari potensi tsunami? Menurut dia, itu tergantung morfologi pantai. "Kalau di tebing, tentunya tinggi dan aman," kata Rahmat. "Kalau datar ya bahaya. Intinya begitu."

0 Komentar