Berbaring sejenak di bawah pepohonan durian |
Tiga perempuan menunggu "rezeki" dari atas |
Tiga perempuan berjalan agak cepat menuruni
jalan yang bermedan bukit itu. Berbekal sepatu boot, parang di tangan dan berselempang penangkin sebuah alat membawa barang yang terbuat dari anyaman
rotan mereka bergegas menuju hutan buah yang dikenal sebagai dohas atau tembawang.
Angin pun bertiup agak kencang menimbulkan bunyi
harmoni alam berupa perpaduan bunyi daun, serangga dan batang bamboo yang
saling bergesekan. “krasakkkk,….buk”, sebuah suara memecah keheningan ketiga
wanita itu. Tanpa dikomandoi mereka pun bergegas mencari arah datangnya bunyi
yang terakhir seperti sebuah barang yang terhempas ke tanah.
Senyum mereka pun terlihat sumringah karena
dihadapan mereka terlihat dua buah durian seukuran kepala orang dewasa. “Besar,
oiii”, Seru salah satu perempuan yang sering disapa sebagai bik Siah. “Haha
lumayan ni belum jatuh semua…”, timpal Bik Anton. “Angin pun cukup kuat,
hati-hati benjol kenak timpa durian”, ujar Bik Apin sambil tergelak.
Dohas atau tembawang memang sebuah kawasan yang berisi
beragam buah. Kepemilikannya pun beragam ada yang memang milik pribadi, milik
desa maupun milik bersama yang biasanya masih dalam keturunan yang sama. Ini adalah
salah satu dari sekian kearifan local dari masyarakat Adat Dayak tanpa terkecuali
di Kecamatan Marau. Para nenek dan kakek ataupun moyang mereka biasanya
meninggalkan sebuah kawasan dengan tanaman buah pilihan yang telah terseleksi
dengan baik kualitasnya. Maka tak heran para cucu atau cicitnya saat ini
tinggal memanennya secara bersam-sama.
Bila musim buah tiba maka salah satu buah yang
menjadi primadona adalah durian. Harga jualnya yang menggiurkan menggerakkan
masyarakat untuk menyandau/memanen
buah yang jatuh dari pohonnya. Buah itu kemudian dijual kepada para peraih atau pedagang buah yang akan
menjualnya lagi ke kota. Di kota Ketapang buah durian pun dijual beragam. Bila banjir
seperti saat ini buah yang bernama latin Durio
Zibethenus Sp dibandrol dari harga Rp. 10.000 hingga Rp. 50.000 per buah
tergantung ukuran dan kualitas. Namun biasanya harga diatas dapat turun ketika
hari menjelang larut malam maka para pedagang akan mengobral duriannya dengan system
borongan pada pembeli.
Kembali kepada ketiga perempuan asal kampung
Riam Kusik ini terlihat dengan asyik mengumpulkan durian-durian yang berjatuhan
ke dalam penangkin masing-masing yang
berkapasitas hingga belasan sampai puluhan buah tergantung ukuran durian dan
penangkin itu sendiri. Mereka mengaku pada trip
perburuan durian kali ini untuk membuat tempoyak
dan lempok yang akan dikirim ke keluarganya di kota. Tempoyak adalah awetan dari daging buah durian yang dicampur dengan
garam dan disimpan di toples. Biasanya hasil fermentasi ini menjadi bahan
campuran untuk memasak ikan ataupun ditumis begitu saja. Sementara lempok adalah semacam jenang atau olahan dodol durian yang
dapat disimpan cukup lama. Harganya pun cukup menggiurkan dimana di pasaran
harganya dapat sampai Rp. 130.000 per Kg.
Ketiga wanita ini sangat bersyukur karena musim
durian kali ini buahnya cukup banyak. “Syukurlah musimnya agak panjang
bertepatan dengan anak mau masuk sekolah lagi, jadi jual durian untuk beli buku”,
ujar Bik Apin tertawa sambil bersantai sejenak di bawah pepohonan durian.
Lambaian daun bercampur dengan suara jatuhnya buah durian dan aroma yang menyebar seperti simfoni indah yang ingin mengatakan inilah berkat dari yang kuasa ketika alam kau jaga. Dari pohon-pohon yang menjulang itu mengerakkan ekonomi dari perhuluan walau untuk waktu yang terbatas, yakni kurang lebih dalam waktu dua bulan. Namun hal itu harus disyukuri seperti lepasnya tawa ketiga perempuan itu pulang dengan tiga penangkin penuh buah durian. (JWKS-Kiriman Rusmiadi Riam Kusik).
0 Komentar