Awal Juni 2018 cuaca di
Ketapang mulai terasa panas dimana matahari bersinar begitu teriknya. Setelah sekitar
dua minggu sebelumnya dilanda hujan yang cukup tinggi hingga menyebabkan banjir
di beberapa tempat. Panas yang terik ini tentu perlu diwaspadai dengan potensi
kebakaran yang berimbas pada bahaya kabut asap.
Terlihat dari pantauan
satelit mengenai “titik panas/hot spot” pada Selasa 5 Juni 2018 Ketapang
memiliki 3 hot spot dari total 13 hot spot di 14 kabupaten kota yang terpantau
oleh satelit. Dari 3 titik itu tersebar di Kendawangan, Simpang Hulu dan Air
Upas. Dengan situasi saat ini yang baru memasuki musim panas tentu potensi
bertambahnya hot spot ini mesti diwaspadai. Terlihat pula tiap hari helikopter hilir
mudik membawa tendon air untuk memadamkan api.
Memang kadang menjadi
sebuah dilematis ketika memasuki musim seperti saat ini dimana bertepatan pula
dengan masyarakat adat selesai melakukan panen padi yang ditandai dengan acara
Gawai Padi. Setelah panen biasanya saat ini memasuki kalender pengolahan lahan
kembali untuk musim tanam berikutnya. Biasanya salah satu tahapan adalah dengan
pembakaran lahan pertanian yang tentu memiliki alasan tersendiri bagi para
petani lahan natai yakni selain memudahkan dalam pembersihan lahan, abu
pembakaran tersebut diharapkan dapat menyuburkan lahan yang akan ditanami.
Sementara
itu membuka lahan dengan cara membakar
hutan merupakan hal yang secara tegas dilarang dalam undang-undang, yakni
diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h
UU PPLH yang berbunyi: “Setiap orang dilarang
melakukan perbuatan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. Namun,
ketentuan pembukaan lahan dengan cara membakar ini memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.
Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini
adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per
kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi
oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Ini
artinya, membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan persyaratan
tertentu. Adapun ancaman
pidana bagi yang
melakukan pembakaran lahan adalah penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10tahun serta denda antara Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.
Kembali pada fakta di lapangan
mengenai keberadaan hot spot tersebut harus betul-betul dipastikan apakah
keberadaannya di lokasi perkebunan warga, lokasi hutan ataukah lokasi
perkebunan atau yang lainnya. Karena bila tidak maka stigma negatif bagi
masyarakat adat yang membuka lahan dengan segala kearifan lokalnya semakin
mengerucut dan hal ini tentu berbahaya karena mereka melakukan hal ini sudah
dari dulu untuk memenuhi kebutuhannya akan pangan.
Perlu kerja keras semua pihak untuk
mengusahakan win-win solution bagi permasalahan penanggulangan kebakaran dan kabut
asap ini. Masyarakat memang perlu di-edukasi betul tanpa harus mencabut
kearifan lokalnya mengenai apa yang boleh dan tidak boleh menurut UU. Mereka
bisa memenuhi kebutuhan pangannya dengan cara pengolohan lahan yang salah satu
tahapannya yakni dibakar namun betul-betul dijaga dengan membuat rintisan
seperti yang diwariskan nenek moyangya dan satu catatannya bahwa lahan itu
ditanami oleh komoditas lokal yang telah akrab dengan kehidupan dan kebutuhan
mereka akan pangan. Aparat pun juga harus memahami apa yang boleh dan tidak
boleh untuk dilakukan penindakan. Karena dalam UU itu jelas bahwa luasan yang
digarap oleh tiap kepala keluarga maksimal 2 hektar untuk ditanami komoditas lokal.
Jadi jelas ketika masyarakat membuka ladang untuk ditanami padi natai ataupun
tanaman palawija dengan luas tak lebih dari 2 ha serta mengusahakan lahan
dengan dibakar dan dijaga agar tidak merambat ke lahan lainnya adalah hal yang
tidak dilarang oleh Negara.
Negara memang menggariskan bahwa
kabut asap harus benar-benar Zero, artinya
bencana yang jadi momok bagi Negara di mata dunia internasional ini harus
ditiadakan ataupun bisa ditekan. Namun tentu juga pencegahannya harus arif
dengan tidak meng-generalisir masyarakat
adat yang membuka lahan sebagai penyebab kebakaran lahan. Namun mesti
betul-betul bijak jangan sampai sebenarnya pihak lain yang membakar dan
mengakibatkan bencana asap kemudian masyarakat adat yang dituduh. Karena potensi
pembakaran lahan juga berpotensi dilakukan oleh coorperate-coorperate besar walau faktanya ada juga oknum
masyarakat yang melakukannya.
0 Komentar